"Apa namanya ya, ketika kamu merasa bahagia waktu berjalan begitu cepat sampai-sampai kamu begitu mengharapkan bisa menghentikan si waktu ini. Atau sebaliknya, ketika kamu tak nyaman bahkan membenci sebuah kondisi kamu ingin si waktu cepat-cepat berganti." Tanya Mentari. Matanya menerawang menatap petang. Semburat jingga berkilau di kedua mata bulatnya.
Sore itu tak banyak percakapan seperti hari-hari biasanya ketika kami bertemu. Dua jiwa saling menyayangi yang terpisah ruang. Kali ini Mentari banyak diam.
"Ketidakadilan waktu, Pa?" Tanya Mentari lagi lirih, nyaris bergumam.
Gadisku ternyata makin dewasa. Ia tumbuh secerdas Ibunya.
"Sama halnya ketika kita menunggu-nunggu sesuatu, waktu akan berjalan amat lama. Sementara sebaliknya ketika kita menikmati sesuatu waktu bergerak bahkan seolah seperti kedipan mata." Tambah Mentari lagi, sembari merapikan tas sekolahnya yang sebenarnya sudah rapi dari semula.
"Begitulah hakikat waktu, sayang. Takdir waktu memang relatif. Tak pernah pasti. Tergantung tafsir orang." Kataku. Kesedihanmu menusuk hati ayahmu ini, Nak.
"Berdamailah dengan waktu, Mentari." Kuelus kepala Mentari.
Mentari menarik napas lalu menghembuskan napasnya panjang. Perlahan mendekap tas sekolahnya dan berusaha membuat senyum yang paling indah yang dia miliki.
"Yasudah kalau begitu, aku pulang dulu. Papa titip salam buat Mama enggak?"
Tak salah kamu keberi nama Mentari. Kamu selalu berhasil menghangatkan hati Papa.
Perlahan aku mengangguk lalu berkata dengan suara yang kubuat senormal mungkin. "Tentu. Juga buat Om Doni. Sampaikan maaf Papa tidak bisa datang ke perkawinan mereka besok."
Mentari memberikan senyumnya sekali lagi. Sebelum akhirnya menghambur memelukku.
"Berdamailah dengan waktu, sayang. Karena waktu juga yang akan menjadi penyembuh luka paling ampuh. Itu sudah hukum waktu." Bisikku.
Sent from my BlackBerry®
powered by Sinyal Kuat INDOSAT