Desember 30, 2014

Dan demikianlah kehidupan berjalan ...

Konon Tuhan memberikan ujian dalam dua jenis. Yang pertama berupa kebahagiaan atau kemudahan, yang kedua berupa kesusahan atau kesedihan.

Ada begitu banyak hal yang terjadi dalam satu tahun terakhir hidup saya, di perempat usia  perhitungan manusia. Bagaimana sesorang yang awalnya paling dekat kini menjadi orang asing, atau bagaimana orang yang awalnya asing kini menjadi orang paling dekat, patah hati tapi sekaligus bangkit untuk berelasi kembali, sudah saya alami. Atau bagaimana saya mulai nyaman -mungkin.malah.terlena.pada.kenyamanan- dengan pekerjaan saya dan kemudian berfikir untuk loncat ke profesi lainnya. Mencoba PNS kemudian gagal. Berencana main ke luar negeri, bahkan mengurus paspor saja masih beribu hal menjadi alasan. Berniat traveling tiap ada kesempatan, tapi selalu lebih pilih pulang menghabiskan cuti panjang.

Satu tahun penuh ujian. Tapi bukankah tiap tahun memang demikian, penuh tawa, berkali-kali tangis duka, jatuh, lalu bangun lagi. Sakit, sembuh. Dan demikianlah kehidupan berjalan.


Drive a little slower
Don't matter where we're going going now 
-Long Drive, Jason Mraz


Desember 25, 2014

Kado



Selamat merayakan Long Weekend di hari Natal yang dempeten dengan Sabtu Minggu!

Kado saya sudah datang! Kado yang dibeli dengan uang sendiri untuk diri sendiri. Kadangkala kita abai pada kita sendiri, lupa memberi reward padahal kita sering menyuruh diri sendiri bekerja keras! bukan bekerja keras dalam arti fisik, tapi... bukankah senantiasa berusaha positif di setiap kondisi padahal serangan energi negatif sedang kuat-kuatnya adalah hal tak mudah?

Nah, sekarang saya ingin memberi penghargaan pada diri saya untuk itu.

Apa kadonya? Laptop baru! Setelah hampir dua tahun nulis blog (enggak rajin-rajin nulis juga sih) pakai smartphone yang nyatanya tak lebih nyaman dari komputer.

Sederhana. Tapi bukankah bahagia itu yang demikian kan...


*gambar dari sini 

Desember 05, 2014

Mau atau Tidak Mau

Saya selalu percaya bahwa kebahagiaan itu kita ciptakan sendiri.

Tiap kali saya bangun tidur dengan kepala berat dan perut mual- setelah beberapa jam sebelumnya baru pulang kantor menjelang subuh-padahal di hari sebelumnya berangkat ke kantor sesuai jam normal biasa- saya mengingatkan diri sendiri bahwa ini adalah konsekuenai atas impian saya dulu.

Bekerja di industri televisi, pernah menjadi impian saya semenjak masih sekolah. Saya ingat dialog dengan kawan SMP namanya Adinda. Kami bercerita saling berbagi cita-cita, dan bahwa kelak saya ingin bekerja di TV (hanya berdasar argumen bahwa pekerja TV itu keren). Saya membuktikan sendiri, bahwa cita-cita sejatinya tak susah diraih asal yakin dan terus mengupayakan cita-cita itu. Pilihannya hanya mau atau tidak.

Betapa di kala SMA saya bersikukuh tidak mau masuk IPA karena yakin bahwa saya sudah bersikap atas cita-cita saya. Pada masanya jurusan IPA masih menjadi prioritas karena banyak pilihan ketika masuk universitas (entahlah dengan sekarang). Dan ketika akhirnya saya melunasi janji pada diri sendiri, puas memang. Bahwa saya bisa.

Kini menjadi besar di jalur pilihan saya adalah sesuatu yang barangkali tidak mustahil. Masih sama seperti dulu, tinggal mau atau tidak mau.

Tapi, mengulang kembali tulisan di paragraf dua tadi... Tiap kali saya bangun tidur dengan kepala berat dan perut mual- setelah beberapa jam sebelumnya pulang hampir subuh-padahal di hari sebelumnya berangkat ke kantor sesuai jam normal biasa- membuat saya makin paham frasa bahwa ada harga yang harus dibayar demi apapun. Dan barangkali malah membuat saya tak lagi optimis, bahwa saya cocok di jalur ini.

Yah, kebahagian memang kita yang atur sendiri bukan...