Desember 18, 2012

Why so serious, al...



Saya teringat sebuah malam. Malam dimana seseorang berkata pada saya, bahwa saat kita sedang ada di suatu momen tertentu sudah sewajarnya kita menyesuaikan diri dengan kondisi tersebut.
Secara umum saya sepakat.

Tapi mengingat konteks percakapan kami saat itu, saya jadi ragu. Saat itu, kami terlibat di suatu kelompok (kumpulan teman-teman lama) dengan jalan pikir dan pengalaman masing-masing yang jauh berbeda saat masih sama-sama berseragam putih abu. Kami dengan idealisme masing-masing saling berargumen, dan si kawan saya yang satu tadi membisikkan hal tersebut pada saya. Saya pun akhirnya diam dan mengikuti perkataannya.

Lama-lama saya malah kurang sepakat dengan opini tersebut. Saya justru berpikiran yang sebaliknya. Saya berpikir bahwa di kondisi apapun, dengan siapa pun, dimanapun kita tidak boleh meninggalkan jati diri kita. Tidak salah menyesuaikan diri dengan apa yang kita hadapi, dengan siapa yang ada di depan kita sewajarnya tanpa melupakan siapa diri kita sebenarnya.
Misalnya dengan teman. Selalu berusaha menyesuaikan diri dengan teman dengan berusaha mengerti missal tema pembicaraan tertentu yang sebenarnya kita tak paham, bukankah itu sama saja membohongi diri sendiri. Apalagi harus mengikuti gaya hidup orang yang sama sekali bukan diri kita. 

Bingung ya, jadi begini… misal kita tidak suka baca buku, teman kita itu suka baca buku. Lalu kita jadi ikut-ikutan apa yang dia baca, hanya demi bisa mendapat tema pembicaraan yang sama saat kita jalan bareng. Atau mengikuti hobinya. Demi kita bisa dekat dengan dia. Ah, kenapa ya… saya rasa ini kurang tepat. 

Apalagi dengan pacar. Bukan berarti karena dia keranjingan nonton film bahkan hafal di luar kepala semua aktor dan aktris internasional, film-film yang dapat nominasi, kita juga harus ikutan “harus tau” mengenai hal tersebut. Atau dia yang penggila bola kita juga harus wajib ngerti tentang bola.

Kenapa ya, kok saya merasanya seperti memupuk kebohongan cara “menyesuaikan diri” seperti itu. Saya sepakat dengan istilah “menyesuaikan diri” tadi, tapi saya kira menyesuaikan diri bukan berarti melupakan hakikat jati diri kita sendiri. Tidak suka ya bilang tidak suka, tidak mengerti bilang saja tidak mengerti, tidak sepakat berkatalah tidak sepakat.  Cela-celaan pun saya kira masih wajar. Daripada kompak, tapi kita sendiri seperti kehilangan jati diri ya buat apa. toh pada akhirnya ada begitu banyak hal di dunia ini yang tidak selamanya bisa kita terima atau selaras dengan keinginan kita.

Menurut saya sih begitu…
Ah tapi kenapa saya begitu serius ya...


*gambar dari sini

1 komentar:

  1. Kita ini seperti sebuah puzzle. Kita bertemu dengan berbagai kepingan puzzle lainnya. Tiap kepingan puzzle berbeda, tak pernah sama persis. Tapi jika disusun bersama-sama, menciptakan satu gambar yang indah.

    Bukankah kita bukan mencari persamaan dalam puzzle? Yang kita cari adalah kecocokan dari tiap lekuk puzzle yang beragam bentuknya.

    Begitulah.

    BalasHapus