Agustus 23, 2012

Pulang


Aku sungguh tak pernah menyangka jika dia yang akhirnya menjadi kekasihmu. Tapi, meskipun demikian aku doakan kau berbahagia selalu. Ya, kalian berdua.

Seperti biasa, meski aku hanya menjawab datar semua telpon-telponmu kau masih saja antusias bertanya ini itu padaku. Seperti sebelum-sebelumnya kau tak pernah bosan bertanya bagaimana kabarku hari itu, apa saja yang sudah kulakukan, menu makan siang apa yang telah kusantap, apa yang akan kulakukan setelah ini, pun semua pesanmu jangan ini, jangan itu, jangan lupa ini, jangan sampai itu, dan yang lainnya. 

Maka sore ini atas kemauanmu, dengan berat hati kulangkahkah kaki menuju restoran favorit kita dulu –ahh entah kenapa mesti ada kata dulu- sewaktu kita masih berkumpul bersama, aku, kau, dan Papa. Biasanya, di sore seperti ini resto ini penuh oleh siapapun yang ingin bersantai ngeteh atau ngopi sore melepas kepenatan selepas berjibaku dengan tugas kantor, atau mereka yang sengaja berlama-lama sampai di rumah demi menghindari padatnya jalannya ibu kota ini. Kita dulu biasanya datang selepas Isya, sengaja menunggu Papa pulang dari kantor. Dulu. Sudah dulu sekali.

“Mama mau menikah lagi,” katamu akhinya setelah tegukan teh panas yang kesekian. Pasti itu karena kegugupanmu. 

Benar dugaanku. 

Ku cari matamu, mata yang kata orang kau wariskan keindahannya padaku. Mencari binar bahagia atas keputusanmu. Ya itu dia, kutemukan diantara keredupan sinar matamu. Apakah aku sumber redupnya sinar mata indah itu?

“Dengan siapa, Ma? Diakah?” kataku akhirnya memecah keheningan, meskipun disebelah kami terdengar sekali riuhnya gelak tawa para perempuan.

Mama mendengus pelan. “Jangan sebut Om Irwan dengan dia, sayang.”

“Asal Mama bahagia, aku setuju saja.” Ah, pahitnya kalimatku tadi. Nyeri ulu hatiku sendiri mengatakannya.

Mama tersenyum tipis. 

“Papa sudah tahu?” tanyaku.

Mama menatapku, menggeleng pelan.

Ya sudah lah, jika memang dia yang bisa membuat Mama bahagia, yang bisa membuat Mama bersyukur atas apa yang telah Mama punya. Meskipun itu meneguhkan kabar yang terhembus mengenai alasan perceraian Papa dan Mama. Ya sudahlah, daripada kita semua tersakiti setidaknya ada satu orang yang bahagia atas perpecahan keluarga ini. Ya, itu kau Ma. Atas segala pengorbanan kita, kau wajib bahagia.

Maka sore ini pula, langsung kutemui Papa. Di rumah kecil yang dibeli Papa setelah perpisahan keluarga ini. Rumah kecil yang sekali kuinjak pada Tahun Baru di tahun lalu. Ada kebahagian yang menanti di sana, meski tanpa kau, Ma. Kebahagian Papa. Papa pun layak mendapatkan kebahagian sepertimu. Kebahagiaan atas keinginan Papa untuk bisa tinggal bersama anak perempuan satu-satunya. 

"... And I know just why you could not come along with me
cause this was not your dream, but you always believed in me"
-Home/Michael Buble


 *gambar dari sini

Tidak ada komentar:

Posting Komentar