Amanah

And the story begin...

"Jadi gimana rasanya?"

Akhirnya pertanyaan absurd ini saya terima juga, begitu masuk hari pertama pasca cuti menikah. Yang nanya absurd, dan jawabannya juga pasti absurd! Haha.

Nah, lalu saya menikah. Sama seperti orang tua saya, kakak sepupu saya, sahabat saya, kawan lama saya, kawan baru, juga jutaan manusia di belahan dunia lainnya​ yang punya pasangan sah. Alhamdulillah.

Akhirnya juga saya bisa bercerita di sini. Yang saya harap-harapakan dari lama dan kesampaian itu semacam... "wow ini beneran enggak ya?" Batin saya tiap hari bangun dan nemu ada laki bobok mendengkur dengan damainya di sebelah saya. Haha.

Sudah hampir tiga bulan, dan rasa-rasanya saya sudah mampu beradaptasi dengan baik. Baik dengan suami (cieh haha) maupun dengan kehidupan baru (yang sebenarnya tak berbeda jauh dengan pola kehidupan saya sebelumnya). Standart yang orang bilang, nanti harus bangun pagi lho nyiapin makan, bersih2 rumah, nyuciin baju... semacam itulah. Tapi sejauh ini tidak ada masalah, saya masih bangun pagi siapin makan dan bekal sembari ngerjain kerjaan rumah. Masih belum punya anak, jadi masih santai. Dan saya beruntung, suami bukan tipe penuntut. Yang penting saat dia bangun tidur bisa ngalem -aleman a.k.a manja- sama saya, bagi dia itu sudah cukup (murahan) haha!

Pada malam ketika besok saya akad nikah, seorang sahabat, memberi ucapan selamat sekaligus berpesan via blackbery massanger, "yang penting amanah". Diantara ucapan selamat dari sahabat-sahabat yang lain, bagi saya itu yang paling mengena. 

Pada hakikatnya semua hal yang kita terima dalam kehidupan adalah amanah, kan. Senang susah, materi, semua merupakan tanggungjawab yang harus dipelihara dan dijaga, juga tidak boleh dirusak. Barangkali begitu pula pernikahan pun amanah, yang harus dijaga sehingga pada saatnya ia harus dikembalikan ke pemilikNya, pernikahan itu tidak rusak. Ya barangkali begitu. *ini berubah jadi serius* haha

Yang jelas, sekarang saya punya rumah. Punya tujuan pulang. Punya arah kehidupan.


*foto pribadi