"Lalu apa yang salah pada hubungan kita?" Mayra tersedu. genangan air mata yang sudah ditahannya dari tadi pecah.
Esta membisu. Sejurus kemudian direngkuhnya tubuh kekasihnya dalam sebuah pelukan erat dan ciuman mendalam. Ia sendiri tak paham pasti. Mereka tak lagi remaja yang hanya terjebak romansa. Mereka pun ber-Tuhan yang sama. Ia sama sekali tak mengerti, itikad baik mereka justru terhalang egoisme orangtua.
*****
"Sudah cukup, Mayra. Ini terakhir kalinya kita membicarakan ini." Mama mematikan televisi lalu beranjak pergi.
Kuraih remot TV dan kunyalakan lagi. Tanpa suara.
"Ma, apa Mama benar tak mau punya menantu Esta?"
*****
"Mama seneng sama Esta deh." Kata Mama di sebuah pagi beberapa bulan yang lalu. Malam sebelumnya Esta datang dan membawakan Mama sekotak puding coklat, buatan Ibunya katanya.
"Karena Mama dibawain puding?" ujar Papa, nimbrung.
"Ya bukan, anaknya sopan, dan nggak neko-neko kaya pacarmu yang sebelumnya."
Aku tergelak, "Ya beda jauh. Gantengan Esta kemana mana Mama."
Mama pun tergelak. "Mama kok yakin kamu cocok sama dia ya..."
Papa berdecak. "Ah mama..."
"Iya Pa, intuisi seorang ibu itu kan tidak terkalahkan."
AKu tergalak lagi. "Jadi Mama Papa setuju ya Esta lamar Mayra," kelakarku.
Mama tersnyum. "Pasti."
*****
Tak berselang lama, Mama jadi uring-uringan. Dari yang teramat berpihak pda Esta menjadi beruah sikap seratus delapan puluh derajat.
"Mama nggak suka sama Mamanya Esta."
Aku ternganga.
"Mama ah, itu kan udah lama Ma."
"Ya tetep aja, Pa. Dia mantan Papa. Kalau tentang mantan, kelar urusan!" Mama marah. "Apalagi sekarang dia udah cerai sama suaminya."
Astaga!
Sampai berbulan kemudian, Esta tetap rutin berkunjung dan Mama tetap bergeming.
(fiksimini)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar