Juni 19, 2012

Cinta dalam Secangkir Teh Panas



Dia sangat mencintai pagi. Sama halnya dengan dia yang mencintai teh manis panas. Baginya, pagi dan teh panas adalah sepasang kekasih. Yang tak mungkin dipisahkan.
Maka ia selalu suka pagi, selalu bangun pagi, menatap ke arah halaman sembari menyecap seteguk teh panas yang memang selalu aku siapkan untuknya beberapa jam sebelum ia berangkat ke kantor.
Selalu, kumulai aktifitas pagiku dengan menyeduhkan teh untuknya. Sesendok penuh teh hitam dengan air panas. Lalu dengan muka segar setelah sholat subuh, ia akan rela menungguiku di dapur menunggu teh panasnya siap. Selalu. Setiap pagi.
Lalu tanpa sengaja kegiatan ini menjadi ritual kami berdua mengawali pagi. Bercengkrama memetakan hal apa yang akan kami masing-masing lakukan. Aku akan menyiapkan sarapan dengan ia yang senantiasa menungguku di meja makan. Menunggu teh panasnya siap, tepatnya.
Maka aku pun mencintai pagi. Sebanyak aku mencintai dirinya. Sebanyak aku selalu jatuh cinta tiap pagi padanya. Dan aku akan masih menyimpan senyum ketika ia akhirnya ngloyor pergi meninggalkan aku dan dapurku, setelah mendapatkan teh panasnya. Tidak kemana-mana memang, ia hanya pindah tempat. Ke teras belakang. Menyalami pagi katanya.
“Sia-sia sekali kalau kita melewatkan pagi begitu saja.” Begitu yang ia katakan dulu, ketika aku mulai kenal kegemarannya.
“Kenapa teh??” keheranankan tak cukup begitu saja, ketika aku tahu ia rela menyeduh teh sehabis subuh. Padahal hari masih gelap. Aku kira, terlalu repot mesti menyeduh dulu, menunggu sampai pekat, memisahkan ampasnya. Belum lagi, ia sempatkan juga mengamati seduhannya, mengamati perubahan warna pada teh.
“Kenapa engga?” jawabnya mesra. “kalo kata orang sih baik buat kesehatan, anti oksidan.”
“O… kenapa ngga teh kantong aja, kan cepet ngga repot?”
“No..no..no…”gelengnya cepat. “rasanya beda, perasaan kita ngga nyampe…”
Keningku berkerut. Bingung. Ia meraih tanganku, mengajakku duduk di dekatnya. Langit memang masih agak gelap, bintang juga masih ada, udara pun masih terasa dingin. Diberikannya segelas teh panas yang tinggal separuh kepadaku. “Coba rcicipin.”
Kutiup pelan sebelum kuteguk. Rasa panas mengaliri kerongkonganku ketika teh ini sampai ke kerongkonganku, sedikit mengacaukan otak kesadaranku, karena dengan tanpa kusadari kedua mataku terpejam merasakan kenikmatan yang mendadak mengaliri seluruh tubuhku. Hangat bahkan terasa sampai ke otakku.
Ketika mataku terbuka, ia tersenyum. “Nikmatkan…”
Aku pun ikut tersenyum. “tapi apa bedanya dengan teh kantong…”
Ia meneguk lagi sisa tehnya. Masih dengan gayanya yang khas. Meninggalkan kecapan nikmat di wajahnya. “Ngga akan nyampe kerja keras kita nyeduh teh. Apaan tuh dicelu-celupin gitu… ngga ada hikmat-hikmatnya…” jawabnya asal.
Aku tertawa. Meski aku belum menangkap maksudnya, toh kugantikan juga kegiatannya menyeduh teh. Awalnya memang hanya formalitas sebagai ibu rumah tangga, sebagai seorang istri yang menyiapkan minum untuk suaminya setiap pagi. Tapi lama kelamaan, kegiatan sepele ini justru menjadi semacam ritual.
Sehabis sembahyang subuh, kutuang sesendok teh ke dalam gelas dan menuanginya dengan air panas. Selalu kulakukan sebelum aktifitas lainnya kulakukan. Lalu ia pun mendatangiku, menunggui seduhan tehnya sembari menemaniku membereskan urusan dapur. Kami lalu bercengkrama. Mengobrolkan rencana hari ini. Baik kegiatanku juga kegiatannya.
Lalu aku selalu jatuh cinta ketika memandangnya yang dengan khidmat mengamati seduhan tehnya yang mulai berubah warna sambil sesekali menanggapi obrolanku. Dan cintaku menjadi bertambah, ketika dari jendela dapur kutangkap wajahnya nikmat menyecap teh panas dengan gaya khasnya. Menikmati setiap teguk teh panas yang mengaliri kerongkongannya. Merasakan uap panas menerpa wajah tirusnya. Aku selalu jatuh cinta tiap pagi.
Lama-lama aku sadar. Menuang sesendok teh dan air panas, menyeduhnya, kemudian membuang ampasnya. Sungguh sederhana. Tetapi sebenarnya istimewa. Karena dalam seduhan tehku, terkandung segala macam rasa. Rasa bahagia, ketika kita menyeduhnya dengan suasana yang bahagia. Atau rasa sedih, ketika suasana kita juga sedih. Bahkan hambar, meski gula telah dimasukkan, karena suasana hati yang memang sedang bosan.
Semuanya tergambarkan dalam rasa teh. Aku pun mengerti, ketika aku mulai menyadari ketidak wajaran dalam teh seduhanku. Kadang terasa begitu panas menggairahkan, kadang hitam pekat hambar, atau malah terasa biasa tak istimewa. Maka, aku akan berusaha bahagia pada setiap pagi. Karena dengan begitu, tehku akan menjadi nikmat, pun sebagai usaha membahagiakannya.
Namun lepas semua dari itu, aku yakin ia akan menerimanya apapun rasanya. Karena aku tahu, ia mencintaiku.[]


*cerita ini saya temukan di tumpukan file-file yang berantakan di laptop saya. entah kapan saya menulisnya, yang jelas sudah lama sekali, tercampur dengan file-file tugas kuliah saya dulu. tahun lalu saya ikutkan di proyek #GoodbyeNovember, proyek menulis dari nulisbuku.com dan masuk di buku ketiga. jadi saya pikir, daripada filenya nganggur begitu saja mending saya posting di blog yang masih hijau ini :)
well, saya jadi kepikiran apa tugas-tugas kuliah saya dulu saya posting juga ya, kan lumayan nambah-nambah tulisan :p hahahaha

*gambar dari sini

3 komentar:

  1. hmm, cerita pendek yang manis,
    yah, "usaha" menyeduh teh punya filosofinya sendiri di kehidupan :)

    BalasHapus
  2. hihihi... sama seperti orang yang cinta kopi, punya filososfinya sendiri. pecinta teh pun aku rasa sama :)

    BalasHapus
  3. Ini bagus,.. slipkan juga ucapan trimakasih untuk seorang istri yang membuatkan teh.. itu akan berasa indah sekali.

    BalasHapus