Februari 18, 2013

Sekuen Sore


Sore ini seperti saat itu, sore sendu saat kamu datang dengan topi petmu sepulang les sekolah. Menaiki vespa andalanmu lalu merayuku, “jika saja kamu jadi kekasihku, kupastikan tak ada perempuan lain yang berbahagia melebihi dirimu.” Lalu entah bagaimana ceritanya aku mau saja jadi pacarmu. Mungkin kala itu aku kena hipnotismu.

Juga saat itu. Suatu sore yang hampir gelap, karena kebetulan saat itu musim hujan, kamu datang dengan muka lelahmu setelah perjalanan berjam-jam dari pulau seberang. Berkaus polo kelabu yang amat kusut dengan sebuah kotak kecil di tangan. “Kalau kamu sampai menolak pinanganku, kupastikan kamu menjadi wanita paling tidak berbahagia di dunia.” Ancamanmu mengerikan. Dan bukan karena takut akan kutukan itu langsung kuterima pinanganmu dengan suka cita. “Aku hampir gila harus hidup jauh dari kamu,” bisikmu di telingaku detik itu juga.

Pun dengan suatu sore yang lain. Suatu sore yang agak berangin, saat kubuka pintu pagar perlahan, sembari berusaha kamu tak perlu mendengarkan jejak langkahku. Tapi kamu justru menyongsongku dengan muka amat keruh dari teras rumah. Mukamu merah menahan amarah, sekaligus rindu kasih yang tertahan beberapa hari karena aku kabur dari rumah. Karena masalah yang menurutku besar, yang berawal dari masalah-masalah kecil kita. Toh akhirnya, aku berakhir di pelukanmu sepanjang malam setelah sore itu. “Jangan pergi-pergi lagi sekalipun kamu sedang marah besar padaku,” katamu di ujung malam itu. Saat itu menggenapkan keyakinanku, bahwa kamu amat menginginkanku, tak bisa jauh dariku, terlalu mencintaiku.

Sama juga dengan sore itu. Di sore saat jalan depan rumah ramai oleh anak-anak bersepada pulang dari TPQ di ujung jalan. Saat itu akhirnya kuputuskan untuk keluar dari carut marut rumah tangga kita setelah hilang sakit amarah. Aku memutuskan berpisah saat aku tak mampu lagi marah. Aku menyerah.  “Pernikahan kita menurutmu mungkin kesalahan, tapi mencintaimu bagiku adalah sebuah keindahan.” Rayumu untuk terakhir kalinya. 

Sore itu aku jadi tahu, bahwa pada akhirnya cinta berjalan dengan keinginan cinta itu sendiri. Belasan tahun kita yakin bahwa kita akan cukup bahagia dengan cinta yang sudah kita punya berdua. Mencoba menahkodai mangatur arah cinta yang kita miliki berdua. Sayangnya cinta tak pernah bisa dipaksa. Cinta selalu punya jalannya sendiri sesuai keinginan cinta. 

Sore ini pun ternayata sama juga dengan sore-sore itu. Saat aku harus membuat keputusan. Kali ini tentang apakah kita harus memulai kembali dari awal. haruskah aku mengiyakan, meski seberkas nyeri ternyata masih tertanam. kubaca lagi pesan singkatmu, "I'm going back to the start..." Kali ini, entah cinta seperti apa yang dikehendaki cinta untuk kita.


"I was just guessing
At numbers and figures
Pulling the puzzles apart
Questions of science
Science and progress
Did not speak as loud as my heart"
-The Scientist, Coldplay


*gambar dari sini

Tidak ada komentar:

Posting Komentar