Januari 15, 2013

Rumah

Rumah saya berbenah. Sedikit ada berlebih rejeki, renovasi di lakukan di sana-sini. Melanjutkan pembangunan tahap per tahap yang entah kapan akan selesai, mengingat bapak saya yang suka tiba-tiba berinovasi. 

Saya tertarik komentar ada seorang saudara saya, dia bilang “ngapain rumah dibuat bagus… toh pada akhirnya nanti akan ditinggali berdua. Anak-anak dibawa suaminya. Atau kalo nggak diwariskan ke anaknya.”

Ibu saya menyahut, “lha mbok sampeyan mending kontrak aja, nggak perlu bangun rumah sendiri, wong akhirnya juga dikasihkan anaknya.”

dan beliau berdua terkekeh bersama.

Benar. Rumah adalah tempat berpulang bagi penghuninya. Tak heran jika si pemilik rumah menghendaki rumah yang nyaman (dalam konteks fisik). Tentu definisi “rumah nyaman” itu relatif tiap orang. Namun pada intinya mungkin sama. Rumah adalah tempat keluarga dibangun, tempat anak-anak tumbuh dan berkembang. Maka tak heran jika cita-cita semua pasangan di dunia adalah memiliki rumah sendiri lepas dari orang tua begitu ijab qobul diikrarkan. Lalu saat si pembangun rumah sampai di waktu senja dan anak-anak sudah pergi mewujudkan impi-mimpinya, rumah kembali ditinggali si orang tua saja. 

Seperti celetukan ibu saya dulu saat nyawang tetangga saya tinggal di rumah berdua saja sementara anak-anak sudah berkeluarga semua, “Berawal dari dua orang pada akhirnya akan kembali jadi dua orang… lalu satu orang.”

Bisa jadi, begitulah pula nasib sebuah rumah.

 *gambar dari sini

Tidak ada komentar:

Posting Komentar