Oktober 28, 2012

To Be a Novelist

Hari-hari di dua bulan terakhir ini, aktivitas saya tersita dengan sebuah kegiatan yang sudah lama sekali tidak saya lakukan : menulis novel! Saya tergerak untuk kembali menekuni hobi yang sempat saya tinggalkan dulu, bertahun-tahun yang lalu. puluhan draft ide cerita hanya berhenti di folder begitu saja. atau kalaupun jadi sebentuk cerita, hanya berupa cerita pendek tak lebih dari tujuh lembar halaman kuarto.

Saya pun mulai membongkar kembali file-file yang tersisa, demi awalnya tergerak sebuah announcement  sayembara menulis novel oleh Gramedia. Kenapa tak saya gunakan saja kesempatan itu. Ibaratnya memancing kembali semangat menulis berlembar-lembar fiksi dan membangun konsistensi serta rutinitas yang bermanfaat. Setidaknya waktu luang saya ada hasilnya, itu pikir saya.

Maka mau tak mau saya mentarget diri saya untuk di depan komputer, memeras isi otak dan melatih semua indra pembayang (indra apa ini haha! indra-indra untuk berimajinasi meliputi lima indra maksudnya) selama berjam-jam. dan harus bisa menyelesaikan minimal delapan halaman perhari.

saya benar-benar merasakan semangat baru, gairah baru saat jari berhasil menari-nari di atas keyboard nonstop selama berjam-jam. tapi, menjalankan sebuah komitmen itu luar biasa susah. seringkali saya menyerah pada rasa malas, dengan hanya menyelesaikan empat-lima lembar perhari. belum lagi saat seharian saya tak ada waktu menulis, dan esoknya saat harus menulis lagi rasanya otak yang mulai menghangat kembali membeku. Nihil. tak ada ide.

genre apa novel saya? entahlah, saya tak berpikir macam-macam saat memulai lagi aktifitas menulis fiksi ini. saya tuliskan apa yang saya pikirkan. saya mencoba membuat target untuk diri saya sendiri. saya kembali membaca-baca buku tentang kepenulisan, ide cerita, membuat plot, sudut pandang,  membaca novel-novel yang sudah berdebu di rak buku demi memahami gaya-gaya menulis, pun buku-buku tentang kritik sastra demi mencoba membangkitkan sense of "kefiksian" saya.

sebenarnya saat sebuah tulisan fiksi saya selesai, saya selalu takjub pada diri sendiri. untuk kepenulisan non fiksi saya akui saya tak berbakat (memang seharusnya lebih harus dibiasakan). logika  kacau, tak runtut membuat saya tak percaya diri pada tulisan non fiksi. Tapi berbeda dengan non fiksi, meski cerita saya tak pernah tembus di media tempat saya kirimkan naskah, tapi saya tetap puas saat membacanya kembali. rasanya menakjubkan bahwa saya bisa membuat sebuah cerita.

dan saya bersemangat kembali. menemukan gairah hidup yang baru saat saya merasa gagal di sisi kehidupan yang lain.

2 komentar:

  1. Menulis adalah bentuk pemberontakan dari kata-kata yang tak terucap dan imajinasi yg terkekang.
    Lampiaskan semuanya tanpa ampun dalam ceritamu :D
    Pernah maen ke www.kemudian.com ga Al?
    Disitu bisa jadi ajang melampiaskan hasrat menulis, bisa dibaca dan dikritik oleh orang lain juga, bisa jadi barometer seberapa jauh kemampuan kita nulis :D

    BalasHapus
  2. weehh, belum tau

    wah terimakasi infonya :D

    BalasHapus