Oktober 30, 2012

Sendu


Sore itu sama seperti saat ini, langit mendung dengan petir yang samar-samar menggelegar. Tapi wajahmu justru bersinar, membawa sekeranjang mawar putih di tangan kanan dan sebuah kotak kecil bersalut beludru warna hitam. Kau datang dengan senyum dan kepastian.

“Will you?”

Kau tahu, sebesar apa kebahagiannku. Bahkan aku sendiri tak mampu mendapat kata-kata yang tepat untuk mengungkapkannya. Rasa-rasanya hatiku ingin meledak saat itu juga.

Sayang, perasaan membuncah itu tak bertahan lama. Saat akhirnya kita bersepakat menentukan masa depan kita, ternyata banyak sudut pandang lain yang tidak menghendaki hal serupa. 

Lalu aku pun menyerah, dan kaupun marah. Marah semarah-marahnya, bukan padaku tapi  pada keadaan.

“Yang menikah itu kita. Dan mereka tak ada hubungannya dengan kita.” Katamu penuh amarah. 

“Yang penting orang tuamu setuju, sudah terpenuhi syarat-syarat untuk kita menikah, Andini.” Katamu penuh tekanan.

Aku mendesah. 

“Menikah itu bukan hanya tentang dua orang saja. Juga tentang dua keluarga. Di sana nanti akan ada menantu, ibu mertua, ayah mertua, kakak ipar, adik ipar, om, tante, oma, opa… semua akan menjadi satu bagian keluarga. Aku tak akan sanggup jika tidak diterima ditengah-tengah mereka.”

“Lalu kau mau menunggu sampai kapan?”    

Itulah dia yang juga aku tak tahu. Bahkan hingga saat ini, saat seharusnya kita berdua sedang berbahagia mempersiapkan pernikahan kita. Saat seharusnya kita saling merindu karena tak diijinkan bertemu demi menjalani tradisi.   

Dan sama seperti sore itu, kali ini rintik hujan pun menderas turun dan perlahan membasahi jendela dengan petir yang semakin bersahut-sahut sendu. hanya kali ini lebih pilu.


*gambar dari sini

Tidak ada komentar:

Posting Komentar