September 20, 2012

Sentimen dan Homogenitas

Saya tak tahu apakah saya harus merasa beruntung atau sebaliknya.

Sedari dulu saya sadar bahwa saya tinggal di lingkungan yang homogen. di lingkungan yang Islami, meskipun daerah saya bukan daerahnya pesantren. keluarga saya juga bukan dari kalangan santri. di sini saya beruntung menjadi bagian dari keluarga besar ini, dimana saat saya kecil dipaksa sekolah TPA dan madarasah tiap sore demi melengkapi pendidikan agama yang diajarkan di sekolah saya yang negeri. saya pun tiap malam minggu diwajibkan ikut pengajian anak-anak kecil dan remaja, "berjanjen" istilahnya di sini. Semacam pengajian yang nanti ada ceramahnya juga.

apa yang saya dapatkan? saya merasa amat beruntung. Saya bukan orang yang tak pernah membuat kesalahan, dosa apalagi. Tapi saya merasa beruntung karena di saat kebanyakan teman-teman saya meninggalkan solat dengan beribu macam alasan, saya justru merasa tidak lengkap ketika saya meninggalkan solat sesibuk apapun. saya merasa beruntung, saat di rumah saya merasa ada kewajiban membaca Al Quran. Misalnya saya lewatkan, serasa ada yang kurang pada aktiftas saya saat itu. mau apapun mudah, karena mau membaca Al Quran tak pekewuh karena semua seagama, sudah hampir lewat waktu sholat diingatkan bahkan hampir dipukul untuk segera melaksanakan sholat. dan saya rasa, saya beruntung tinggal di lingkungan homogen seperti itu.

Tapi kemudian, saat saya mulai SMA, saat saya bersekolah dimana teman-teman saya banyak yang bukan dari ras yang sama dengan saya, saya mulai merasa menyesal tinggal di lingkungan homogen tadi. Saya, yang pada dasarnya memang susah bergaul dengan orang, harus berteman dengan orang baru, etnis tionghoa yang sedari kecil tak pernah saya kenal dekat. Saya canggung, rikuh, pokoknya merasa tak nyaman. Saya mulai menyalahkan orang tua saya yang tak mengenalkan pada keberagaman. Keberagaman manusia hanya saya dapatkan secara teori tapi tanpa praktek. Padahal tetangga rumah saya, ada yang etnis tionghioa. Tapi toh orang tua selalu memandang berbeda saat saya dulu bergaul dengan mereka.

Pun dengan orang berbeda agama dengan saya. Saya benar-benar merasa bersyukur bersekolah di sekolah negeri terbaik di kota saya. Bukan karena gengsi atau karena apa, tapi karena saya akhirnya mengenal jenis manusia lain selain seperti di lingkungan homogen saya. Saya akhirnya punya teman dengan kepercayaan berbeda dengan saya, pun dengan ras yang berbeda dengan saya. Meski agak canggung, lama-lama saya pun luwes terbiasa menghadapi mereka. Bahkan seringkali, kami pun bertukar cerita tentang ajaran di kepercayaan kami masing-masing.

Saya sungguh merasa beruntung!

pun akhirnya sampai saat Jokowi-Ahok yang menurut quick count adalah pemenanang pilkada DKI. Saat di sekitar saya -sebut saja Bunga- berkata, "Bagus ya, tapi sayangnya wakilnya itu lho..."  Saya yang awalnya mau apatis, akhirnya gemes juga. memangnya kenapa kalo si Ahok ini dari etnis Cina, kenapa juga kalau dia non muslim. Saya kira, asalkan dia bisa membuktikan apa yang dikatakan saya rasa dia lebih baik dari orang yang hanya banyak bicara tanpa berbuat, Muslim sekalipun.bukan berarti pula saya pro jokowi, saya tak teralalu tertarik masalah politik, saya pun tak terlalu mengikuti berita pilkada ini, tapi dengan alasan apapun saya tak setuju jika untuk jadi pemimpin sesorang disayangkan atau malah dihalangi hanya karena ia berbeda dengan kita.

Saya jadi berfikir, apa penyebab si Bunga ini bisa berpikir seperti itu, di sini konteksnya bukan seperti si Nara itu yang suka meledek si Ahok karena jelas-jelas tak ada kepentingan politik dari orang di lingkungan saya tadi mengeluarkan statemen seperti itu. Saya akhirnya sampai pada kesimpulan, bahwa mungkin si Bunga ini sama dengan saya, yang dari kecil sampai tua hidup di lingkungan yang homogen. dia mungkin jadi seperti terdoktrin bahwa yang berbeda dengan dia tidak lebih baik dari golongannya. Ah, saya jadi merasa tak beruntung sudah besar di lingkungan seperti itu.

Entahlah, akhirnya saya semacam membuat janji pada diri saya. Bahwa kelak, saya akan tunjukkan keberagaman pada anak-anak saya, dan akan saya mulai sejak mereka bersekolah. Agar mereka bisa cerdas bermasyarakat, setidaknya tahu memeperlakukan orang yang berbeda dengan mereka, atau agar mereka pun tak kaget saat nantinya mereka justru harus tinggal sebagai kaum minoritas!!


*tulisan ini bukan untuk menyerang siapapun, ini hanya opini pribadi
** gambar dari sini

Tidak ada komentar:

Posting Komentar