November 11, 2013

Sederhana Saja

Sedari kecil saya terbiasa peka dengan kondisi sekitar. Ingin ini itu tapi cenderung takut meminta, takut orang tua saya tidak kuasa. Mulai dari hal remeh temeh, sampai hal besar luar biasa bagi saya.

Hingga saya dewasa, sifat itu masih melekat erat.

Saya paling takut meminta. Takut pada akhirnya membuat mereka terluka karena tak mampu memberikan apa yang saya maui. Sepeda bekas, tas dan sepatu sekolah seharga seadanya, gadget tak pernah yang termutakhir, semua saya terima apaadanya.

Suatu ketika diumur saya yg masih belasan, selepas daftar ulang di kampus sebagai mahasiswa baru, saya dan bapak saya berputar mencari kos. Dari yang bagus sampai sederhana. Lalu ketika saya menemukan sebuah kos, yg saya pikir nyaman nyatanya bapak mengharapkan pengertian saya bahwa ongkosnya memberatkannya. Dengan berat hati tentu setengah kesal hati, saya menerimanya. Saya bukan anak pemaksa yang segala keinginannya harus terpenuhi.

Saya yakin dunia akhirat kalau saja bisa, mereka bahkan akan memberikan seisi semesta pada saya. Sayang kemampuan manusia ada batasnya.

Lalu di kemudian hari, jika dari mereka saya mendapatkan apa yang benar-benar inginkan, saya bahagia tapi setengahnya saya cemas. Tak enak hati, apa bener itu tidak memberatkan mereka. Saya, tentu tak mau jadi anak durhaka. Yang memberatkan orang tua, meski sering kali entah dengan atau tanpa sengaja tak luput menorehkan luka di hati mereka.

Maka impian saya hanya sederhana, saya ingin tinggal dekat bersama mereka. Berbagi hasil jerih payah saya. Bisa menemui mereka kapan saja ketika rindu melingkupi mereka. Membuatkan teh panas bapak saya kala magrib menyapa, memijit kaki ibuk saya kala ia ketiduran di ruang keluarga.
Sederhana saja.



Sent from my BlackBerry®
powered by Sinyal Kuat INDOSAT

Tidak ada komentar:

Posting Komentar