Mei 30, 2012

Ziarah dan Perenungan



Biasanya hal yang dekat seringkali diabaikan. Mungkin seperti itulah yang terjadi pada saya. Besar di kota Kudus, dimana dianggap sebagai kota yang beruntung karena ketempatan makam dua dari sembilan Wali penyebar agama Islam di Jawa (Sunan Kudus dan Sunan Muria) ini membuat saya malah tidak rutin berziarah di kedua tempat tersebut.

Saya bahkan lupa kapan terakhir kali mengunjungi makam tersebut. Bersama teman-teman kuliah saya dulu, dua tahun yang lalu saya berziarah di makam Sunan Muria di Gunung Muria. Sementara ke makam Sunan Kudus, entahlah... sudah lama sekali nampaknya.

Dan kemarin  ketika sahabat saya Lele berkunjung ke kota ini akhirnya saya melakukan ritual peziarahan itu lagi, setelah sekian lama. Meskipun istilahnya saya hanya guide-nya, tetapi berkunjung kembali ke kedua makam ini sedikit menampar saya, kemana saja saya selama ini. Bukan mempersoalkan kereligiusitasan, saya hanya berpikir sudah sekian lamakah saya menutup diri terhadap hal-hal di sekitar saya, sibuk dengan dunia saya sendiri.

Kembali masuk ke cungkup makam orang besar ini membuat saya bermonolog dalam hati. Berkontemplasi. 
Maka, setelah sejenak membaca Al Fatihah mendoakan ahli kubur ini saya kembali merenung, apa yang sudah saya lakukan selama ini, apa manfaat saya bagi orang lain selama duapuluh tiga tahun hidup saya. 

Kedua ahli kubur ini semasa hidupnya jelas sangat berarti bagi hidup orang banyak, jelas mampu memberikan kesejahteraan bagi orang banyak dan bukan pula hal yang mengherankan. Yang luar biasa adalah bahkan ketika kedua orang besar ini telah tiada, mereka masih saja memberikan manfaat dan kesejahteraan bagi orang lain. Bayangkan berapa jumlah orang yang ditingkatkan kesejahteraan ekonominya dari hasil berjualan cinderamata di area makam, berapa jumlah orang yang bisa hidup dari menjadi tukang ojek, jumlahnya ada ratusan bahkan mungkin ribuan.

Nah saya, apa yang sudah saya lakukan. Sudahkah saya memberi arti bagi orang lain, atau minimal keberadaan saya mampu melegakan orang lain. atau justru sebaliknya saya justru tidak dianggap atau parahnya dibenci banyak orang (naudzubillahmindzalik). 

Saya memang bukan orang besar seperti mereka, tapi setidaknya ada keinginan dalam diri saya ingin menjadi penting seperti mereka, dimana bisa berarti bagi banyak orang. Bahkan setelah saya mati kelak.

Semoga kita semua kelak termasuk orang-orang yang beruntung, mampu membuat orang lain bahagia karena keberadaan kita. amin :)

*gambar dari sini


2 komentar:

  1. ketika satu pintu terbuka, maka pintu lainnya tertutup. begitu juga kehidupan, berarti bagi sebuah/seseorang/sekelompok maka harus ada yang direlakan. saya mengutip penggalan puisi yang memang kalau dipikir-pikir egois tapi mengena.

    "Sekali berarti, sudah itu, MATI..."

    BalasHapus
  2. wah, chairil anwar ya :)
    tapi kalo menurutku mungkin lebih bagus bisa berarti-nya jangan cuma sekali kali ya, kalo bsia berkali-kali.

    BalasHapus