Setelah lebaran haji, undangan nikah bertebaran dimana-mana.
Saya sendiri tak tahu pasti alasan waktu-waktu di bulan Dzulhijah banyak sekali
orang kawinan. Mungkin karena hari yang paling baik adalah hari-hari di bulan ini, meskipun dibubuhkan sebelumnya
bahwa pada dasarnya semua hari itu baik.
Saking banyaknya acara kawinan yang sempat saya datangi,
saya jadi punya impian sendiri tentang kawinan saya kelak (ah, skip bagian ini!) bukan itu poinnya :p
Jadi, ada pepatah Jawa desa
mawa tata, negara mawa cara. Yang artinya tiap daerah itu punya adat, tata
cara, aturan masing-masing. Atau ada peribahasa lain : Lain ladang lain
belalang, lain lubuk lain ikannya. Yang artinya juga hampir sama.
Nah, di daerah saya itu biasanya sebelum resepsi kawinan
bagi keluarga dekat, tetangga atau kenalan dekat pihak pengantin ada berkatan, yaitu semacam hantaran yang
biasanya berupa nasi plus lauk pauknya. Kadang isinya ayam, daging atau apapun
sebagai lauk pauk si nasi itu. Semacam syukuran sekaligus memberikan kabar bahwa keluarga si fulan akan menikah. Berkatan ini biasa diantar sekaligus dengan undangan kawinan.
Beberapa tahun terakhir ini sih, tradisi ini sedikit
bergeser. Bagi beberapa orang yang tak mau ribet, tak mau susah, hantaran ini
sekarang diganti dengan roti atau kue kering. Dan ini sudah jamak terjadi. meski bagi orang-orang kuno, berkatan isi roti ini dianggap kurang pas.
Tak peduli apapun isi berkatan itu saya pikir-pikir kondisi ini aneh. Membagi berkatan-melakukan pernikahan-resepsi pernikahan. Yang dibagi berkatan nanti datang juga ke resepsi pernikahan. Nah, bukankah sudah ada undangan. Kenapa mesti berkatan ini, fungsinya apa? Fungsi undangan sudah ada undangan fisik, atau syukuran? Kan nanti datang juga pas resepsi nikahan.
Disebutnya "sego panas" artinya semacam sesuatu yang mengikat agar yang diundangan ada kewajiban untuk datang dan "ngamplopi". Kalau cuma undangan, katanya tidak terlalu diutamakan. Saya sih, sebagai kaum muda hanya bisa mengernyitkan kening dan iya-iya saja. Ya pantas saja biaya kawinan tak cukup lima puluh juta.
Kalo mau, bisa memang kawinan tak menggelontorkan uang yang rasanya mencekik leher itu. Tapi, bagi beberapa orang tradisi ini sebuah harga diri, kebanggaan. Apalagi kalau yang diundang buanyak orang. Padahal kalau dipikir-pikir, andaikata tidak ada berkatan ini, dana bisa ditekan untuk resepsi pernikahan -kalaupun ingin terlihat wah!
Ya, apa mau dikata... dimana bumi dipijak, disitulah langit dijunjung.
*gambar dari sini
Tidak ada komentar:
Posting Komentar