Aku sungguh tak pernah menyangka jika dia yang akhirnya menjadi kekasihmu.
Tapi, meskipun demikian aku doakan kau berbahagia selalu. Ya, kalian berdua.
Seperti biasa, meski aku hanya menjawab datar semua
telpon-telponmu kau masih saja antusias bertanya ini itu padaku. Seperti
sebelum-sebelumnya kau tak pernah bosan bertanya bagaimana kabarku hari itu,
apa saja yang sudah kulakukan, menu makan siang apa yang telah kusantap, apa
yang akan kulakukan setelah ini, pun semua pesanmu jangan ini, jangan itu,
jangan lupa ini, jangan sampai itu, dan yang lainnya.
Maka sore ini atas kemauanmu, dengan berat hati kulangkahkah
kaki menuju restoran favorit kita dulu –ahh entah kenapa mesti ada kata dulu-
sewaktu kita masih berkumpul bersama, aku, kau, dan Papa. Biasanya, di sore
seperti ini resto ini penuh oleh siapapun yang ingin bersantai ngeteh atau
ngopi sore melepas kepenatan selepas berjibaku dengan tugas kantor, atau mereka
yang sengaja berlama-lama sampai di rumah demi menghindari padatnya jalannya
ibu kota ini. Kita dulu biasanya datang selepas Isya, sengaja menunggu Papa
pulang dari kantor. Dulu. Sudah dulu sekali.
“Mama mau menikah lagi,” katamu akhinya setelah tegukan teh
panas yang kesekian. Pasti itu karena kegugupanmu.
Benar dugaanku.
Ku cari matamu, mata yang kata orang kau wariskan
keindahannya padaku. Mencari binar bahagia atas keputusanmu. Ya itu dia,
kutemukan diantara keredupan sinar matamu. Apakah aku sumber redupnya sinar
mata indah itu?
“Dengan siapa, Ma? Diakah?” kataku akhirnya memecah
keheningan, meskipun disebelah kami terdengar sekali riuhnya gelak tawa para
perempuan.
Mama mendengus pelan. “Jangan sebut Om Irwan dengan dia,
sayang.”
“Asal Mama bahagia, aku setuju saja.” Ah, pahitnya kalimatku
tadi. Nyeri ulu hatiku sendiri mengatakannya.
Mama tersenyum tipis.
Mama tersenyum tipis.
“Papa sudah tahu?” tanyaku.
Mama menatapku, menggeleng pelan.
Ya sudah lah, jika memang dia yang bisa membuat Mama
bahagia, yang bisa membuat Mama bersyukur atas apa yang telah Mama punya.
Meskipun itu meneguhkan kabar yang terhembus mengenai alasan perceraian Papa
dan Mama. Ya sudahlah, daripada kita semua tersakiti setidaknya ada satu orang
yang bahagia atas perpecahan keluarga ini. Ya, itu kau Ma. Atas segala pengorbanan
kita, kau wajib bahagia.
Maka sore ini pula, langsung kutemui Papa. Di rumah kecil
yang dibeli Papa setelah perpisahan keluarga ini. Rumah kecil yang sekali
kuinjak pada Tahun Baru di tahun lalu. Ada kebahagian yang menanti di sana,
meski tanpa kau, Ma. Kebahagian Papa. Papa pun layak mendapatkan kebahagian
sepertimu. Kebahagiaan atas keinginan Papa untuk bisa tinggal bersama anak
perempuan satu-satunya.
"... And I know just why you could not come along with me
cause this was not your dream, but you always believed in me"
cause this was not your dream, but you always believed in me"
-Home/Michael Buble
*gambar dari sini
Tidak ada komentar:
Posting Komentar