Waktu-waktu terakhir saya merasa amat dekat sekali dengan
kematian. Menjadi saksi sebuah proses dimana seorang anak manusia mulai dilemahkan,
dihilangkan segala daya kekuatannya perlahan-lahan hingga tuntas berhenti segala
perjalan keduaniawiannya, lalu berangkat menuju alam mahadahsyat sesudahnya menjadi perjalanan spiritual luar biasa yang baru pertama kali saya rasakan.
Kata orang-orang, mbah
putri menyusul anak lelaki kesayanganya. Ya, mungkin memang benar begitu. Tapi
bukankah orang mati tak peduli lagi dengan hal selain dirinya sendiri atas apa
yang akan dihadapi di alam barzah sana. Masing-masing, seorang diri, akan bersiap
mempertanggungjawabkan segala sesuatu yang ia lakukan di dunia, seingat saya
begitu kata guru ngaji saya dulu.
Mengalami berangkatnya dua orang terdekat dalam waktu yang
berdekatan seperti ini menampar jiwa dan raga saya. Sebenarnya saya tahu,
siapapun tahu hal-hal seperti ini bahwa mati akan dihadapi siapa saja. Tapi,
sisi lain dalam diri saya bergejolak, tak tenang, gelisah.
Bagaimanapun, pada akhirnya setakut apapun kita akan mati
sendiri, tak ada teman, merasakan proses pencabutan ajal sendiri, lalu akhirnya
berada di bawah tanah sendiri, tanpa teman apalagi harta. Beribu pertanyaan
mencuat di benak saya : siapkah saya ketika tiba-tiba saya harus merasakan itu?
siap tidak siap harus siap, bukankah mati sudah digariskan jawab diri saya yang
lain.
Pertanyaan selanjutnya muncul : benarkah sudah siap? Bekal
apa yang sudah kau bawa? Lalu dosa-dosamu yang sebelumnya? Sudah siapkah dengan
kehidupan lain sesudah ini? Yakinkah bahwa kau akan baik-baik saja? Pertanya
retoris. Yang jawabannya hanya helaan nafas serta gumaman istigfar panjang.
Sejujurnya saya belum bahkan tak punya bekal apa-apa! Maka apakah benar saya
sudah siap menghadapi kematian yang konon katanya bukanlah kematian, melainkan
kehidupan baru yang lebih abadi. Siapkah?!
*gambar dari sini
Tidak ada komentar:
Posting Komentar