Dia sangat
mencintai pagi. Sama halnya dengan dia yang mencintai teh manis panas. Baginya,
pagi dan teh panas adalah sepasang kekasih. Yang tak mungkin dipisahkan.
Maka ia selalu
suka pagi, selalu bangun pagi, menatap ke arah halaman sembari menyecap seteguk
teh panas yang memang selalu aku siapkan untuknya beberapa jam sebelum ia
berangkat ke kantor.
Selalu,
kumulai aktifitas pagiku dengan menyeduhkan teh untuknya. Sesendok penuh teh
hitam dengan air panas. Lalu dengan muka segar setelah sholat subuh, ia akan
rela menungguiku di dapur menunggu teh panasnya siap. Selalu. Setiap pagi.
Lalu tanpa
sengaja kegiatan ini menjadi ritual kami berdua mengawali pagi. Bercengkrama memetakan hal apa yang akan kami
masing-masing lakukan. Aku akan menyiapkan sarapan dengan ia yang senantiasa
menungguku di meja makan. Menunggu teh panasnya siap, tepatnya.
Maka aku pun mencintai pagi. Sebanyak aku
mencintai dirinya. Sebanyak aku selalu jatuh cinta tiap pagi padanya. Dan aku
akan masih menyimpan senyum ketika ia akhirnya ngloyor pergi meninggalkan aku
dan dapurku, setelah mendapatkan teh panasnya. Tidak kemana-mana memang, ia
hanya pindah tempat. Ke teras belakang. Menyalami pagi katanya.
“Sia-sia sekali kalau kita melewatkan pagi begitu
saja.” Begitu yang ia katakan dulu, ketika aku mulai kenal kegemarannya.
“Kenapa teh??” keheranankan tak cukup begitu saja,
ketika aku tahu ia rela menyeduh teh sehabis subuh. Padahal hari masih gelap.
Aku kira, terlalu repot mesti menyeduh dulu, menunggu sampai pekat, memisahkan
ampasnya. Belum lagi, ia sempatkan juga mengamati seduhannya, mengamati
perubahan warna pada teh.
“Kenapa engga?” jawabnya mesra. “kalo kata orang
sih baik buat kesehatan, anti oksidan.”
“O… kenapa ngga teh kantong aja, kan cepet ngga
repot?”
“No..no..no…”gelengnya cepat. “rasanya beda,
perasaan kita ngga nyampe…”
Keningku berkerut. Bingung. Ia meraih tanganku,
mengajakku duduk di dekatnya. Langit memang masih agak gelap, bintang juga
masih ada, udara pun masih terasa dingin. Diberikannya segelas teh panas yang
tinggal separuh kepadaku. “Coba rcicipin.”
Kutiup pelan sebelum kuteguk. Rasa panas mengaliri
kerongkonganku ketika teh ini sampai ke kerongkonganku, sedikit mengacaukan
otak kesadaranku, karena dengan tanpa kusadari kedua mataku terpejam merasakan
kenikmatan yang mendadak mengaliri seluruh tubuhku. Hangat bahkan terasa sampai
ke otakku.
Ketika mataku terbuka, ia tersenyum. “Nikmatkan…”
Aku pun ikut tersenyum. “tapi apa bedanya dengan
teh kantong…”
Ia meneguk lagi sisa tehnya. Masih dengan gayanya
yang khas. Meninggalkan kecapan nikmat di wajahnya. “Ngga akan nyampe kerja
keras kita nyeduh teh. Apaan tuh dicelu-celupin gitu… ngga ada
hikmat-hikmatnya…” jawabnya asal.
Aku tertawa. Meski aku belum menangkap maksudnya,
toh kugantikan juga kegiatannya menyeduh teh. Awalnya memang hanya formalitas
sebagai ibu rumah tangga, sebagai seorang istri yang menyiapkan minum untuk
suaminya setiap pagi. Tapi lama kelamaan, kegiatan sepele ini justru menjadi
semacam ritual.
Sehabis sembahyang subuh, kutuang sesendok teh ke
dalam gelas dan menuanginya dengan air panas. Selalu kulakukan sebelum
aktifitas lainnya kulakukan. Lalu ia pun mendatangiku, menunggui seduhan tehnya
sembari menemaniku membereskan urusan dapur. Kami lalu bercengkrama.
Mengobrolkan rencana hari ini. Baik kegiatanku juga kegiatannya.
Lalu aku selalu jatuh cinta ketika memandangnya
yang dengan khidmat mengamati seduhan tehnya yang mulai berubah warna sambil
sesekali menanggapi obrolanku. Dan cintaku menjadi bertambah, ketika dari
jendela dapur kutangkap wajahnya nikmat menyecap teh panas dengan gaya khasnya.
Menikmati setiap teguk teh panas yang mengaliri kerongkongannya. Merasakan uap
panas menerpa wajah tirusnya. Aku selalu jatuh cinta tiap pagi.
Lama-lama aku sadar. Menuang sesendok teh dan air
panas, menyeduhnya, kemudian membuang ampasnya. Sungguh sederhana. Tetapi sebenarnya
istimewa. Karena dalam seduhan tehku, terkandung segala macam rasa. Rasa
bahagia, ketika kita menyeduhnya dengan suasana yang bahagia. Atau rasa sedih,
ketika suasana kita juga sedih. Bahkan hambar, meski gula telah dimasukkan,
karena suasana hati yang memang sedang bosan.
Semuanya tergambarkan dalam rasa teh. Aku pun
mengerti, ketika aku mulai menyadari ketidak wajaran dalam teh seduhanku.
Kadang terasa begitu panas menggairahkan, kadang hitam pekat hambar, atau malah
terasa biasa tak istimewa. Maka, aku akan berusaha bahagia pada setiap pagi.
Karena dengan begitu, tehku akan menjadi nikmat, pun sebagai usaha
membahagiakannya.
Namun lepas semua dari itu, aku yakin ia akan
menerimanya apapun rasanya. Karena aku tahu, ia mencintaiku.[]
*cerita ini saya temukan di tumpukan file-file yang berantakan di laptop saya. entah kapan saya menulisnya, yang jelas sudah lama sekali, tercampur dengan file-file tugas kuliah saya dulu. tahun lalu saya ikutkan di proyek #GoodbyeNovember, proyek menulis dari nulisbuku.com dan masuk di buku ketiga. jadi saya pikir, daripada filenya nganggur begitu saja mending saya posting di blog yang masih hijau ini :)
well, saya jadi kepikiran apa tugas-tugas kuliah saya dulu saya posting juga ya, kan lumayan nambah-nambah tulisan :p hahahaha
*gambar dari sini
*gambar dari sini
hmm, cerita pendek yang manis,
BalasHapusyah, "usaha" menyeduh teh punya filosofinya sendiri di kehidupan :)
hihihi... sama seperti orang yang cinta kopi, punya filososfinya sendiri. pecinta teh pun aku rasa sama :)
BalasHapusIni bagus,.. slipkan juga ucapan trimakasih untuk seorang istri yang membuatkan teh.. itu akan berasa indah sekali.
BalasHapus