Rumah saya berbenah. Sedikit ada
berlebih rejeki, renovasi di lakukan di sana-sini. Melanjutkan pembangunan
tahap per tahap yang entah kapan akan selesai, mengingat bapak saya yang suka
tiba-tiba berinovasi.
Saya tertarik komentar ada seorang
saudara saya, dia bilang “ngapain rumah dibuat bagus… toh pada akhirnya nanti akan
ditinggali berdua. Anak-anak dibawa suaminya. Atau kalo nggak diwariskan ke anaknya.”
dan beliau berdua terkekeh
bersama.
Benar. Rumah adalah
tempat
berpulang bagi penghuninya. Tak heran jika si pemilik rumah menghendaki
rumah
yang nyaman (dalam konteks fisik). Tentu definisi “rumah nyaman” itu
relatif tiap
orang. Namun pada intinya mungkin sama. Rumah
adalah tempat keluarga dibangun, tempat anak-anak tumbuh dan berkembang.
Maka tak
heran jika cita-cita semua pasangan di dunia adalah memiliki rumah
sendiri
lepas dari orang tua begitu ijab qobul diikrarkan. Lalu saat si
pembangun rumah sampai di waktu senja dan anak-anak sudah pergi
mewujudkan impi-mimpinya, rumah kembali
ditinggali si orang tua saja.
Seperti celetukan ibu saya dulu
saat nyawang tetangga saya tinggal di rumah
berdua saja sementara anak-anak sudah
berkeluarga semua, “Berawal dari dua orang pada akhirnya akan kembali jadi dua
orang… lalu satu orang.”
Bisa jadi, begitulah pula nasib sebuah rumah.
Bisa jadi, begitulah pula nasib sebuah rumah.
*gambar dari sini
Tidak ada komentar:
Posting Komentar