Sore itu sama seperti saat ini, langit mendung dengan petir
yang samar-samar menggelegar. Tapi wajahmu justru bersinar, membawa sekeranjang mawar
putih di tangan kanan dan sebuah kotak kecil bersalut beludru warna hitam. Kau
datang dengan senyum dan kepastian.
Kau tahu, sebesar apa kebahagiannku. Bahkan aku sendiri tak
mampu mendapat kata-kata yang tepat untuk mengungkapkannya. Rasa-rasanya hatiku ingin meledak saat itu juga.
Sayang, perasaan membuncah itu tak bertahan lama. Saat
akhirnya kita bersepakat menentukan masa depan kita, ternyata banyak sudut
pandang lain yang tidak menghendaki hal serupa.
Lalu aku pun menyerah, dan kaupun marah. Marah
semarah-marahnya, bukan padaku tapi pada
keadaan.
“Yang menikah itu kita. Dan mereka tak ada hubungannya dengan kita.” Katamu penuh amarah.
“Yang penting orang tuamu setuju, sudah terpenuhi
syarat-syarat untuk kita menikah,
Andini.” Katamu penuh tekanan.
Aku mendesah.
“Menikah itu bukan hanya tentang dua orang saja. Juga
tentang dua keluarga. Di sana nanti akan ada menantu, ibu mertua, ayah mertua, kakak
ipar, adik ipar, om, tante, oma, opa… semua akan menjadi satu bagian keluarga.
Aku tak akan sanggup jika tidak diterima ditengah-tengah mereka.”
“Lalu kau mau menunggu sampai kapan?”
Itulah dia yang juga aku tak tahu. Bahkan hingga saat ini, saat seharusnya kita
berdua sedang berbahagia mempersiapkan pernikahan kita. Saat seharusnya kita
saling merindu karena tak diijinkan bertemu demi menjalani tradisi.
Dan sama seperti sore itu, kali ini rintik hujan pun menderas turun dan perlahan membasahi jendela dengan petir yang semakin
bersahut-sahut sendu. hanya kali ini lebih pilu.
*gambar dari sini
Tidak ada komentar:
Posting Komentar