Rumah Bapak
Dulu, dulu sekali aku suka sekali menyaksikan iklan cat dinding. Ttg animasi sebuah rumah. Aku membayangkan bahwa suatu ketika kamu -andai saja bisa- bercerita dan dibukukan ketebalannya mungkin melibih ketebalan KBBI.
Dua puluh tahun. Benar. Sudah duapuluh tahun, kamu menemani kami. Menjadi saksi apapun yang terjadi di keluarga kami. Bahkan semenjak kamu belum terlihat selayaknya rumah. Kamu sendiri ingat pasti, bagaimana susahnya bapak ibuk ngangkatin papan sebagai pintu sementara. Berlantai tanah. Prihatin. Benar-benar belum berupa rumah, kamu kala itu.
Dulu, aku selalu membayangkan tidak lama lagi akan punya rumah utuh tiap kali bapak bongkar kamu sana-sini. Meski kenyataannya 20 tahun kemudian masih saja belum jadi! Masi saja harus bongkar sana bongkar sini. Entah kapan kamu bisa jadi selayaknya rumah orang-orang di luar sana. Utuh, sudah benar-benar jadi, dan bagus. Mengingat keinginan bapak yang bermacam-macam, aku bahkan tidak yakin kamu akan utuh seperti di bayangan masa kecilku semula.
Tetapi lambat laun, kian tahun, kian pula aku paham. Bahwa sejatinya rumah, kamu, bukan semata soal bentuk fisik. Nyatanya seburuk apapun kamu, sebelum jadi apapun kamu, kamu telah menjadi kebanggaan kami.
Menjadi saksi kebahagian dan duka kami. Kamu mendengar teriakan, makian, tangisan, tawa, bahkan bisikan yang sejatinya hanya kami sampaikan kepada Tuhan. Lalu andaikata ada orang menanyakan rahasia kami, aku yakin kamulah yang paling tahu!
Yang pasti, kamulah alasan kami pulang. Selalu menjadi tujuan kami pulang.
Salam,
Alina -gadis pertama Bapak-
Sent from my BlackBerry®
powered by Sinyal Kuat INDOSAT
Tidak ada komentar:
Posting Komentar