Sore ini seperti saat itu, sore sendu saat kamu datang dengan topi
petmu sepulang les sekolah. Menaiki vespa andalanmu lalu merayuku, “jika saja kamu jadi kekasihku,
kupastikan tak ada perempuan lain yang berbahagia melebihi dirimu.” Lalu entah
bagaimana ceritanya aku mau saja jadi pacarmu. Mungkin kala itu aku kena
hipnotismu.
Juga saat itu. Suatu sore yang hampir gelap, karena
kebetulan saat itu musim hujan, kamu datang dengan muka lelahmu setelah
perjalanan berjam-jam dari pulau seberang. Berkaus polo kelabu yang amat
kusut dengan sebuah kotak kecil di tangan. “Kalau kamu sampai
menolak pinanganku, kupastikan kamu menjadi wanita paling tidak berbahagia di
dunia.” Ancamanmu mengerikan. Dan bukan karena takut akan kutukan itu langsung
kuterima pinanganmu dengan suka cita. “Aku hampir gila harus hidup jauh dari
kamu,” bisikmu di telingaku detik itu juga.
Pun dengan suatu sore yang lain. Suatu sore yang agak berangin, saat kubuka pintu pagar
perlahan, sembari berusaha kamu tak perlu mendengarkan jejak langkahku. Tapi kamu justru menyongsongku dengan muka amat keruh dari teras rumah. Mukamu merah menahan amarah, sekaligus
rindu kasih yang tertahan beberapa hari karena aku kabur dari rumah. Karena masalah
yang menurutku besar, yang berawal dari masalah-masalah kecil kita. Toh akhirnya, aku berakhir di
pelukanmu sepanjang malam setelah sore itu. “Jangan pergi-pergi lagi sekalipun
kamu sedang marah besar padaku,” katamu di ujung malam itu. Saat itu menggenapkan
keyakinanku, bahwa kamu amat menginginkanku, tak bisa jauh dariku, terlalu
mencintaiku.
Sama juga dengan sore itu. Di sore saat jalan depan rumah ramai oleh anak-anak bersepada pulang dari TPQ di ujung jalan. Saat itu akhirnya kuputuskan untuk keluar dari carut marut rumah tangga kita
setelah hilang sakit amarah. Aku memutuskan berpisah saat aku tak mampu lagi
marah. Aku menyerah. “Pernikahan kita menurutmu
mungkin kesalahan, tapi mencintaimu bagiku adalah sebuah keindahan.” Rayumu untuk
terakhir kalinya.
Sore itu aku jadi tahu, bahwa pada akhirnya cinta berjalan dengan keinginan cinta itu
sendiri. Belasan tahun kita yakin bahwa kita akan cukup bahagia dengan cinta
yang sudah kita punya berdua. Mencoba menahkodai mangatur arah cinta yang kita miliki berdua. Sayangnya
cinta tak pernah bisa dipaksa. Cinta selalu punya jalannya sendiri sesuai
keinginan cinta.
Sore ini pun ternayata sama juga dengan sore-sore itu. Saat aku harus membuat keputusan. Kali ini tentang apakah kita harus memulai kembali dari awal. haruskah aku mengiyakan, meski seberkas nyeri ternyata masih tertanam. kubaca lagi pesan singkatmu, "I'm going back to the start..." Kali ini, entah cinta seperti apa yang dikehendaki cinta untuk kita.
"I was just guessing
At numbers and figures
Pulling the puzzles apart
Questions of science
Science and progress
Did not speak as loud as my heart"
At numbers and figures
Pulling the puzzles apart
Questions of science
Science and progress
Did not speak as loud as my heart"
-The Scientist, Coldplay
Tidak ada komentar:
Posting Komentar