Februari 27, 2014

Beda (Hujan Jakarta)

Jauh berbeda.

Bahkan dalam mimpi sekalipun kamu tak pernah lagi ada. Tak pernah hadir. Seolah-olah alam bawah sadarku pun mulai menolakmu.

Jakarta masih sering hujan. Dan sepertinya hujan Jakarta mulai mampu menghapus jejak rinduku atas kita. Maka semoga kala musim hujan telah habis masanya, sakit hati tentang kita sudah terhapus selamanya.

Lalu... apa aku akan bisa menerimamu kembali, tunggu saja setelah hujan Jakarta benar-benar reda.




Sent from my BlackBerry®
powered by Sinyal Kuat INDOSAT

Februari 17, 2014

Perempuan Pecinta Senja

Perempuan itu terpaku menatap senja yang hampir menghilang. Pandangannya nanar. Atas nama senja akhirnya ia menyerah. Meletakkan seluruh keyakinannya. Ia baru tersadar bahwa senja hanya mampu memberikan kegelapan, kelam.

Meski ia pernah bercerita ia begitu mengagumi senja, mencintainya sepenuh hati dengan penerimaan atas konsekuensi senja : malam.

Sayangnya, malam terlalu kejam. Perempuan itu tak cukup tangguh untuk berdiri di tengah malam, apalagi berjalan di tengah pekatnya malam. Senja membiarkan ia berkelana di sepanjang malam sendirian, sampai untuk bertemu senja keesokan hari.

Perempuan itu berusaha tegar, tertawa-tawa seolah tak takut malam. Berusaha menunjukkan dunia bahwa ia perkasa, yang akan mampu menaklukan malam. Sayangnya ia tetap perempuan. Yang kadang butuh dituntun di tengah malam. Yang seringkali butuh ditunjukkan jalan!

Dan senja tetaplah menjadi senja. Indah dan cantik untuk dikagumi, sayang terlalu sebentar untuk bisa dinikmati.



Februari 05, 2014

Takdir Waktu

"Apa namanya ya, ketika kamu merasa bahagia waktu berjalan begitu cepat sampai-sampai kamu begitu mengharapkan bisa menghentikan si waktu ini. Atau sebaliknya, ketika kamu tak nyaman bahkan membenci sebuah kondisi kamu ingin si waktu cepat-cepat berganti." Tanya Mentari. Matanya menerawang menatap petang. Semburat jingga berkilau di kedua mata bulatnya.

Sore itu tak banyak percakapan seperti hari-hari biasanya ketika kami bertemu. Dua jiwa saling menyayangi yang terpisah ruang. Kali ini Mentari banyak diam.

"Ketidakadilan waktu, Pa?" Tanya Mentari lagi lirih, nyaris bergumam.

Gadisku ternyata makin dewasa. Ia tumbuh secerdas Ibunya.

"Sama halnya ketika kita menunggu-nunggu sesuatu, waktu akan berjalan amat lama. Sementara sebaliknya ketika kita menikmati sesuatu waktu bergerak bahkan seolah seperti kedipan mata." Tambah Mentari lagi, sembari merapikan tas sekolahnya yang sebenarnya sudah rapi dari semula.

"Begitulah hakikat waktu, sayang. Takdir waktu memang relatif. Tak pernah pasti. Tergantung tafsir orang." Kataku. Kesedihanmu menusuk hati ayahmu ini, Nak.

"Berdamailah dengan waktu, Mentari." Kuelus kepala Mentari.

Mentari menarik napas lalu menghembuskan napasnya panjang. Perlahan mendekap tas sekolahnya dan berusaha membuat senyum yang paling indah yang dia miliki.

"Yasudah kalau begitu, aku pulang dulu. Papa titip salam buat Mama enggak?"

Tak salah kamu keberi nama Mentari. Kamu selalu berhasil menghangatkan hati Papa.

Perlahan aku mengangguk lalu berkata dengan suara yang kubuat senormal mungkin. "Tentu. Juga buat Om Doni. Sampaikan maaf Papa tidak bisa datang ke perkawinan mereka besok."

Mentari memberikan senyumnya sekali lagi. Sebelum akhirnya menghambur memelukku.

"Berdamailah dengan waktu, sayang. Karena waktu juga yang akan menjadi penyembuh luka paling ampuh. Itu sudah hukum waktu." Bisikku.


Sent from my BlackBerry®
powered by Sinyal Kuat INDOSAT

Surat Nomer Tiga di Februari

Rumah Bapak

Dulu, dulu sekali aku suka sekali menyaksikan iklan cat dinding. Ttg animasi sebuah rumah. Aku membayangkan bahwa suatu ketika kamu -andai saja bisa- bercerita dan dibukukan ketebalannya mungkin melibih ketebalan KBBI.

Dua puluh tahun. Benar. Sudah duapuluh tahun, kamu menemani kami. Menjadi saksi apapun yang terjadi di keluarga kami. Bahkan semenjak kamu belum terlihat selayaknya rumah. Kamu sendiri ingat pasti, bagaimana susahnya bapak ibuk ngangkatin papan sebagai pintu sementara. Berlantai tanah. Prihatin. Benar-benar belum berupa rumah, kamu kala itu.

Dulu, aku selalu membayangkan tidak lama lagi akan punya rumah utuh tiap kali bapak bongkar kamu sana-sini. Meski kenyataannya 20 tahun kemudian masih saja belum jadi! Masi saja harus bongkar sana bongkar sini. Entah kapan kamu bisa jadi selayaknya rumah orang-orang di luar sana. Utuh, sudah benar-benar jadi, dan bagus. Mengingat keinginan bapak yang bermacam-macam, aku bahkan tidak yakin kamu akan utuh seperti di bayangan masa kecilku semula.

Tetapi lambat laun, kian tahun, kian pula aku paham. Bahwa sejatinya rumah, kamu, bukan semata soal bentuk fisik. Nyatanya seburuk apapun kamu, sebelum jadi apapun kamu, kamu telah menjadi kebanggaan kami.

Menjadi saksi kebahagian dan duka kami. Kamu mendengar teriakan, makian, tangisan, tawa, bahkan bisikan yang sejatinya hanya kami sampaikan kepada Tuhan. Lalu andaikata ada orang menanyakan rahasia kami, aku yakin kamulah yang paling tahu!

Yang pasti, kamulah alasan kami pulang. Selalu menjadi tujuan kami pulang.


Salam,
Alina -gadis pertama Bapak-

Sent from my BlackBerry®
powered by Sinyal Kuat INDOSAT

Februari 03, 2014

Surat Nomor Dua di Februari

Kepada Ibu Atut

Ibu dimanapun pasti ingin selalu membahagiakan anak-anaknya. Tak ingin membuat anaknya berkekurangan. Tak ingin membuat keluarganynya berduka. Bahkan ingin selalu memberikan kemudahan bagi anak-anaknya. Bagaimanapun, takdir kasih ibu memang sepanjang jalan.

Saya seorang anak, dan saya paham pasti pengorbanan seorang Ibu demi kejayaan anak-anaknya.

Tapi bukankah tetap tak boleh ada pemakluman saat melakukan kecurangan, demi anak sekalipun??

Apakabar Ibu? Apa Ibu sehat? Sudah bersyukurkah Ibu hari ini? Terkadang, karena lupa bersyukur membuat hidup kita terasa berat.

Apa anak-anak Ibu masih sering berkunjung? Semoga kasih mereka tak pernah putus sebagaimana kasihmu bagi mereka.

Ibu juga tentu rindu cucu ya, Bu? Seperti nenek saya, yang selalu menanyakan saya tiap bertemu oang tua saya. Saya yakin Ibu pasti juga begitu. Rindu pelukan cucu-cucunya, rindu digandeng cucu-cucunya. Katanya kalau sesorang sudah punya cucu segala hal akan dilakukan demi cucunya, bukan lagi demi anaknya. Nah, demi cucu-cucumu Bu. Menyerahlah. Berhentilah.

Bagaimanapun semua ada masanya, bisa jadi masa kuasamu memang sudah sampai di sini. Tak perlu ngotot. Tak perlu kekeuh. Biarkan cucu-cucumu besar dengan kuasa mereka sendiri. Biarkan mereka dewasa dengan cara mereka. Tak perlu ikut campur lagi, Bu. Istirahatlah, Bu.


Salam
Alina, seorang anak.



Sent from my BlackBerry®
powered by Sinyal Kuat INDOSAT

Februari 02, 2014

Menikmatimu

Lihat langit di atas selepas hujan reda
Dan kau lihat pelangi
 
Gadis itu menatap ke jendela. saat sederhana itu telah mengekalkan kecantikannya di otakku.
 
Seperti kau di sini hadirkan sriwedari
Dalam suka duniawi
Dan kita berpijak lalu

Kau merasakan yang sama sepertiku

Ia lemparkan senyumnya, lalu sedikit kerling manjanya. merajuk.

Suara hati kita bergema melantunkan nada-nada 


Ia lalu bercerita tentang apa yang terjadi padanya pagi tadi. sepatunya yang kotor kena lumpur sisa hujan semalam sampai hasil diskusi dengan sahabatnya tentang masa depan karirnya.

Melagu tanpa berkata seperti syair tak beraksara

Ia merajuk lagi saat ia merasa tak diperhatikan. memukul pelan lenganku sambil mengomel.
"katamu tak suka dikomentari. katamu hanya ingin didengarkan?" kataku memperhatikan bulu-bulu matanya.
Gadis itu merengut. Bibirnya digerakkan ke kiri ke kanan tanda gemas.

Lihat fajar merona memandangi kita
Seakan tahu cerita 
Tentang semua rasa yang ingin kita bawa 
Tanpa ada rahasia

Sore ini, gadis itu begitu berbinar ketika menyicip es krim favoritnya. berkali-kali ia bilang es krim adalah penetralisir perasannya. ia tertawa berkali-kali. tawa yang mungkin untuk merayakan sesuatu. 
"apa yang terjadi?" tanyaku.
"tidak ada. aku hanya ingin tertawa saja." katanya.
ia tertawa lagi. tawanya kembali menggelitik hatiku.
 
Dan kita melangkah untuk 

Lebih jauh lagi, lebih jauh lagi

"ayo jalan-jalan?"
aku terdiam. untuk pertama kalinya dan akhirnya.
"jadi?" tanyanya.
aku mengangguk. dalam hati bersorak. 

Suara hati kita bergema melantunkan nada-nada
Melagu tanpa berkata 
Irama hati kita bernada, merayu tanpa bicara 
Melagu tanpa berkata seperti syair tak beraksara
Seperti puisi tanpa rima, seperti itu aku padamu 
(Setapak Sriwedari_Maliq and D essentials) 



Surat Cinta Nomer Pertama di Februari

Kepada Alina di 10 Tahun Mendatang

Kepada Alina yang sudah jadi ibu...
Selamat siang Alina, bagaimana kabarmu?
Apa kau bahagia hari ini? Sudah berapa kali kau elus rambut anakmu hari ini? :)
Oiya, apakah ia bermata bulat seperti matamu? Atau berpipi gembil seperti pipimu? Eh sudah berapa anakmua?

Kepada Alina yang sudah jadi istri...
Masak apa hari ini Alina? Apakah Suamimu makan dengan lahap. Apa hari ini ia sudah mengecup keningmu. Nah yang lebih penting sih, siapa dia Alina? Siapa dia yang dengan berani datang seorang diri menemui bapakmu lalu memintamu menjadi teman hidup, berbagi bahagia dan nestapa bersamanya. Ah siapapun dia, semoga ia mampu membimbingmu! Saling menjadi "rumah" bagi satu sama lain.

Kepada Alina yang sudah jadi menantu...
Bapak Ibu apakabar Alina? Sudahkah hari ini berbincang dengan mereka. Lalu adekmu? Sudah berapa anaknya?
Lalu apakabar mertuamu? Semoga kalian bisa kompak menjadi satu keluarga ya. hahaha

Nah Alina, kudoakan semoga kau berbahagia selalu. Kalaupun ketika kau baca ini kau sedang bersusah hati, bersabarlah. Kesedihan menyeimbangkan kehidupanmu. Bersabarlah bahwa semesta tidak menutup mata atas kesedihanmu!

Pesanku Alina, bersyukurlah! Sesungguhnya itu kunci kebahagiaan hidupmu.


Salam,
Alina Muda.