November 20, 2013

Bahagia? Biasa saja.

Sudah delapan bulan saya menjadi bagian dari sebuah show televisi. grudak-gruduk (seperti sifat asli saya sudah pasti), cemas, tegang, bahkan sampai lupa pipis. kemudian di antara konsentrasi memegang prompter, pikiran saya meloncat-loncat sembari menyaksikan tayangan pada hari itu. tentang saya, tentang saya, dan tentang saya sendiri.

dan siang tadi, disela-sela combreak yang hanya tiga menit itu, tiba-tiba muncul pertanyaan apakah saya akan berbahagia atas apa yang akan saya dapatkan berdasarkan apa yang saya idam-idamkan saat ini. semisal apakah saya akan bahagia bila menikah dengan pacar saya yang sangat menyayangi saya itu, atau apakah saya akan bahagia bila berhasil menjadi produser (ups ;p), atau apapun yang saya dapatkan nanti atas apa yang saya inginkan sekarang.

biasanya sih, rasanya biasa saja. ibarat kita mendaki gunung (kalau kata anak-anak pecinta alam) jika sudah sampai puncak rasanya bahagia sih, tapi ya biasa aja. atau ketika kita mengingnkan suatu hal (saya!), setelah saya dapat ya sudah biasa aja. bahagaianya ya begitu saja.

bisa jadi perasaan luarbiasa itu ketika menjalani prosesnya.

atau ketika menjalani detik demi detik step-stepnya.

ya, bisa jadi begitu sih.

jadi... ya jadi... mungkin itulah penyebabnya kenapa manusia terus berkeinginan, tidak pernah puas, terus mengidamkan sesuatu. setelah dapat ini, mau itu, lalu ingin yang demikian, kemudian mendamba yang begitu, de es be de es be. bisa jadi begitu...


November 11, 2013

Sederhana Saja

Sedari kecil saya terbiasa peka dengan kondisi sekitar. Ingin ini itu tapi cenderung takut meminta, takut orang tua saya tidak kuasa. Mulai dari hal remeh temeh, sampai hal besar luar biasa bagi saya.

Hingga saya dewasa, sifat itu masih melekat erat.

Saya paling takut meminta. Takut pada akhirnya membuat mereka terluka karena tak mampu memberikan apa yang saya maui. Sepeda bekas, tas dan sepatu sekolah seharga seadanya, gadget tak pernah yang termutakhir, semua saya terima apaadanya.

Suatu ketika diumur saya yg masih belasan, selepas daftar ulang di kampus sebagai mahasiswa baru, saya dan bapak saya berputar mencari kos. Dari yang bagus sampai sederhana. Lalu ketika saya menemukan sebuah kos, yg saya pikir nyaman nyatanya bapak mengharapkan pengertian saya bahwa ongkosnya memberatkannya. Dengan berat hati tentu setengah kesal hati, saya menerimanya. Saya bukan anak pemaksa yang segala keinginannya harus terpenuhi.

Saya yakin dunia akhirat kalau saja bisa, mereka bahkan akan memberikan seisi semesta pada saya. Sayang kemampuan manusia ada batasnya.

Lalu di kemudian hari, jika dari mereka saya mendapatkan apa yang benar-benar inginkan, saya bahagia tapi setengahnya saya cemas. Tak enak hati, apa bener itu tidak memberatkan mereka. Saya, tentu tak mau jadi anak durhaka. Yang memberatkan orang tua, meski sering kali entah dengan atau tanpa sengaja tak luput menorehkan luka di hati mereka.

Maka impian saya hanya sederhana, saya ingin tinggal dekat bersama mereka. Berbagi hasil jerih payah saya. Bisa menemui mereka kapan saja ketika rindu melingkupi mereka. Membuatkan teh panas bapak saya kala magrib menyapa, memijit kaki ibuk saya kala ia ketiduran di ruang keluarga.
Sederhana saja.



Sent from my BlackBerry®
powered by Sinyal Kuat INDOSAT

November 05, 2013

Surat Cinta Ayah pada Anaknya



".....
Mungkin inilah waktu itu, ketika pada akhirnya ayah tak mampu menghiburmu. tak bisa seperti dulu, kala ayah berikan boneka beruangmu dan seketika berhentilah tangisanmu.
Inilah waktu itu, ketika es krim tak mampu lagi mengembalikan senyum manismu. dan inilah waktu itu, kala coklat yang meninggalkan jejak berderet di gigimu, tak cukup mampu meredakan sakit hatimu.

Sayang, cinta selalu memang penuh resiko. Dan cinta tak pernah semudah yang kita kira. Itulah kehidupan sebenarnya. sebagaimana yang kau lihat pada diri ayah ibumu. puluhan tahun kami bersama tak selamanya selalu seia sekata. bertahun-tahun bersama bukan berarti ayah tak pernah membuat ibumu berduka. tetapi karena memang tak ada cinta yang sempurna.


Satu saja pesan, ayah... sakit hatilah secukupnya. berdukalah sewajarnya. Berdamailah dengan waktu, hanya waktu yang mujarab menyembuhkanmu...."



*gambar dari sini